Pada masa pemerintahan SBY, subsidi energi, terutama BBM dan listrik, masih sangat tinggi. Pemerintah lebih memilih menahan harga BBM agar daya beli masyarakat tetap stabil. Hanya saja subsidi yang tinggi menyebabkan beban fiskal yang berat bagi APBN pada 2013.
Hal itu dipengaruhi oleh penerimaan negara Tax (T) lebih kecil dibandingkan pemasukan negara Government Revenue (G), sehingga public saving akan defisit (G>T) dampaknya national saving=Y-C-G, sehingga akan menyusut menyebabkan beban keuangan negara menjadi besar.
Tepat 2014 merupakan periode pergantian presiden dari SBY kepada Jokowi. Saat satu tahun pemerintahan Jokowi, justru subsidi BBM dialihkan menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT). Dana realokasi subsidi BBM diperuntukan untuk subsidi nonenergi sebesar Rp4,3 triliun, subsidi listrik Rp4,5 triliun, pembayaran bunga hutang Rp3,8 triliun, menjaga ketahanan dan kesinambungan fiskal Rp31,9 triliun, serta dana lain-lain sejumlah Rp18,2 triliun.
Salah satu bentuk alokasi prioritas belanja pemerintah pusat adalah program Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) sejumlah Rp9,3 triliun, Kartu Indonesia Sehat (KIS) sebesar Rp2,7 triliun, serta Rp7,1 triliun untuk menjalankan program Kartu Indonesia Pintar (KIP).
“Meskipun skema subsidi diterapkan Jokowi ini berbeda dengan era SBY, tapi stigma terhadap kebijakan subsidi tetap sama,” ujarnya.
Kemudian, ketika kita amati lebih lanjut konsep kebijakan SBY dan Jokowi hampir sama yaitu dengan memberikan subsidi konsumsi kepada masyarakat dengan tujuan agar daya beli masyarakat meningkat, inilah yang membangun stigma dimasyarakat bahwa “siapapun presidennya kehidupan masyarakat akan tetap sama”. Sesuai dengan konsep Consumer behavior.