“Saya sudah bangun komunikasi dengan Kementerian Transmigrasi dan PT SIP kawasan Hak Pengelolaan (HPL) lahan perusahaan sawit untuk bisa dikelola warga transmigrasi,” jelasnya.
Upaya-upaya komunikasi tersebut belum menemukan titik temu dan solusi, karena baik kementerian transmigrasi maupun perusahaan PT SIP masih mencari mempertimbangkan aspek ekonomi dan sosial terhadap pemberian lahan.
Disnakertrans Nunukan di tahun 2024 mengusulkan lahan seluas 52, 19 hektar yang dikelola dan dimanfaatkan PT SIP untuk lahan perkebunan kelapa sawit, agar dikerjasamakan dengan warga transmigrasi sebagai kompensasi pemberian LU I.
“Usulan ini sudah disampaikan ke PT SIL dan Kementerian Transmigrasi, hanya saja belum ada titik temu. Kedua pihak masih mengkaji usulan kita,” terangnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Nunukan, Muhtar menerangkan kawasan SP 5 Sebakis diperuntukan bagi 230 warga transmigrasi tidak memiliki dokumen sertifikat dari pemerintah pusat.
“Surat Keputusan (SK) SP 5 Sebakis sebagai lahan transmigrasi diterbitkan tahun 2004 dan hanya berlaku 3 bulan, apabila SK tidak ditindaklanjuti dengan sertifikat, maka lahan kembali tanah negara bebas,” ungkapnya.
Selain lahan belum memiliki sertifikat, pemerintah pusat saat menempatkan warga transmigrasi SP 5 Sebakis, Kecamatan Nunukan maupun Samaja, Kecamatan Sei Menggaris, tidak melihat bahwa lokasi untuk transmigrasi tahun 2013 sudah ditempati kelompok tani lokal.
Keberadaan kelompok tani di lahan tersebut menimbulkan masalah bagi PT SIL dalam menyiapkan lahan plasma. Begitu pula ketika Pemerintah Nunukan,coba mencari lahan-lahan lainnya sebagai pengganti.
“Makanya sampai hari ini tidak selesai-selesai, lahan SP 5 Sebakis itu tidak bersertifikat sebagai kawasan transmigrasi, dan sebagian lahan sudah dikuasai masyarakat lokal,” bebernya.