Alasan lain bertahan petani ditengah hancurnya harga adalah, ingin menjaga bibit-bibit rumput laut tetap tersedia dengan harapan, suatu saat harga kembali naik setidaknya dikisaran Rp 20.0000 per kilogram.
“Kejayaan petani rumput laut Nunukan dan Sebatik hampir hilang, kalau tahun lalu kami menjerit, tahun ini sudah menangis, entah tahun lalu apalagi,” benernya.
Pangsa pasar atau permintaan rumput laut masih mengarah ke Surabaya dan Makassar. Pemilik pabrik biasanya mematok kadar kekeringan 37 – 38 untuk keperluan ekspor dengan kualitas baik.
Sebagai petani sekaligus pengusaha rumput laut, Kamaruddin biasanya mengirim rumput laut sesuai permintaan pabrik di Surabaya, menggunakan kapal laut antara 7 sampai 10 kontainer tiap bulannya.
“Saya mengakomodir beberapa teman petani mengirim rumput laut ke Surabaya. Terkadang saya kesulitan memenuhi permintaan pabrik karena kadar kekeringan di tingkat petani tidak sesuai standar,” ucapnya.
Solusi terbaik mengatasi rendahnya harga rumput laut adalah dengan memperbaiki kualitas. Terlepas dari itu, Kamaruddin meminta Pemerintah Nunukan menjalin kemitraan dengan Universitas Borneo Tarakan dalam mengedukasi pemahaman petani.
Sejauh ini petani di Nunukan dan Sebatik hanya berpikir sebatas menanam dan menghasilkan rumput laut dengan cepat, padahal dalam usaha ini butuh inovasi lain agar tanaman menghasilkan kualitas terbaik.
“Menanam rumput laut tidak beda dengan penanam padi di sawah, ada teknik agar hasilnya baik. Disinilah peran pemerintah mengajarkan teknik sekaligus menghimbau petani menghasilkan rumput laut dengan kadar sesuai pesanan pabrik,” tutupnya.